Sabtu, 25 Desember 2010

Gitarku

Cokelat tubuhmu
Kuning sabukmu
Merahnya setan yang ada padamu
Semakin membuat semangat
Hijaunya tulisan Solo
Menentramkan mata dan hati

Memang kemarin kau sempat patah
Tapi kini kau telah sembuh
Berubah dan kini kau punya karakter
Karakter seni akustik
Apabila seseorang memainkanmu
Hatimu nampak semakin bersinar
Hatimu yang semerah setan

Kini giliranku
Aku ingin mempelajari senimu
Agar aku dan kamu bisa lebih menyatu
Ku ingin kau temaniku
Di kala ku butuhkanmu
Tuk nyanyikan lagu kesukaanku

Makna Lagu Sederhana

Tahukah kamu?
Musik yang sedang ia mainkan
Lembut penuh makna
Kuat hingga membuat orang menangis
Harmoninya menentramkan jiwa
Itu sebuah lagu melankolis
Dengan alat musik sederhana
Engkau mampu memainkannya
Dengan gitar lah...
Barangkali engkau pandai memetiknya
Kau dudukk dan pejamkan mata
Mulailah memetiknya dengan jari lentikmu
Manfaatkan pita suaramu
Nampaknya kau punya bakat
Padukan!
Dan mulai menghayati
Setiap lirik dari lagu sederhana
Mungkin kau akan menangis
Setelah itu kau akan mengerti
Mengapa bisa begitu?

Bukan Pepatah

Siapa dia?
Tulisannya, perkataannya, karyanya
Yang sekarang
Dari hati atau asal omong
Didengar, diketahui, dikenal
Bukan, bukan dia
Dia bukan pepatah
Entah siapa pepatah
Entah siapa dia yang sekarang
Sastrawankah? Filsufkah? Atau bahkan pembual?
Pembual omongan yang diterima orang
Benar atau salah itu tak perlu
Asalkan indah saja
Memang beda, dia bukan seperti pepatah
Dan bukan pepatah
Yang benar dan jujur
Bukan pepatah
Dia bukan pepatah

Rabu, 22 Desember 2010

Tulisan di Hari Ibu


Untuk ibuku tercinta dan juga untuk para ibu di seluruh dunia. Hari ini adalah hari ibu. Hari di mana orang-orang mengucapkan rasa terima kasihnya kepada kalian, hari di mana para anak menyadari kesalahan yang pernah mereka lakukan kepada kalian, dan juga hari di mana derajat kalian seakan dinaikkan dan dimuliakan oleh seluruh warga dunia dengan  berbagai cara guna membalas rasa kasih sayang dan segalanya atas apa yang telah kalian berikan. Dan bahkan Tuhan pun pasti akan memuliakan kalian.
Tapi entah bagaimana tanggapan kalian dengan hal itu. Tak perlu dibahas, tentunya secara lahiriyah kalian pasti akan senang jika diperlakukan seperti itu.
Tapi kalian tetaplah manusia yang punya sifat kemanusiaan pada umumnya, bukan Tuhan. Jika dalam hati kalian berkata sesuatu, “Mengapa tidak setiap hari kalian (anak) melakukan hal seperti ini. Padahal dulu kasih sayang, perhatian, dan pengorbanan yang ku berikan kepada kalian itu setiap saat tak pernah berkurang.” Itu memang wajar dan bahkan mungkin harus kalian katakan. Tapi memang kalian tetaplah kalian, seorang manusia dengan kerendahan hati, kelapangan dada, kasih sayang, dan pelita bagi putra-putrimu. Tak ingin meminta balasan apapun dari yang telah kalian berikan.
Jika Tuhan mengizinkan sekali ini saja kepada kalian untuk sombong, kalian patut untuk sombong. Katakan kepada putra-putri kalian atau bahkan kepada dunia bahwa kalianlah orang yang berjasa besar, rela bertaruh nyawa demi terlahirnya putra-putri yang sekarang ini yang seperti ini. Dan silakan mintalah balasan apapun sesuka hati kalian. Tetapi kalian tidak demikian.
Pasti hari ini kalian hanya berdoa memohon kepada Tuhan semoga putra-putri kalian menjadi mulia dan bermanfaat bagi sesaama, agama, dan bangsa. Pasti itu yang kalian lakukan hari ini.
Dan kami hanya bisa mengucapkan, “Maaf Bu, maafkan kami atas semua kesalahan yang pernah kami lakukan kepadamu dan yang pernah menyakiti hatimu.” Hanya itu, betapa tak punya rasa malu kami ini. Namun memang hanya itu yang menjadi rutinitas kita di hari ibu. Jika kalian bisa melakukan lebih dari itu lakukanlah. Lakukanlah hal yang bisa membuat ibu kalian bahagia, bangga, dan menangis haru pada hari ini, bahkan kalau kalian bisa lakukanlah setiap hari dan setiap waktu.
Bagaimanapun caranya lakukanlah hal yang bisa membuat ibu kalian bahagia minimal pada hari ini. Meskipun hanya dengan sebuah lagu yang amat sederhana.

Kasih ibu kepada beta
Tak terhingga sepanjang masa
Hanya memberi
Tak harap kembali
Bagai Sang Surya menyinari dunia

Ku persembahkan tulisan ini untuk Ibuku, Mak Dhe, dan seluruh keluargaku yang jauh di sana. Dan juga para Ibu diseluruh dunia.

Jumat, 03 Desember 2010

Demo Pertama Kali

Pada tanggal 8 Nopember 2010 aku diajak temanku, M. Aji Najmuddin, mengikuti demonstrasi penolakan pencalonan mantan Presiden Soeharto sebagai pahlawan nasional. Demonstrasi itu berlangsung di Gladag depan gerbang alun-alun Keraton Kasunanan Surakarta.
Kebetulan waktu itu tidak ada jam kuliah karena dosenku sedang pergi haji, sehingga aku mau ketika diajak olehnya sekalian aku mau langsung ke Pasar Cenderamata membantu saudaraku dagang.
Demonstrasi itu diikuti oleh simpatisan dari PMKRI, PMII Surakarta, para mantan veteran PKI, dan lain-lain. Memang jumlahnya tidak terlalu banyak namun cukup mengundang perhatian pengguna Jalan Slamet Riyadi. Kegiatan yang dilakukan di situ adalah penggalangan tanda tangan sebagai tanda penolakan pencalonan mantan Presiden Soeharto sebagai pahlwan nasional.
Orasi dari masing-masing perwakilan kelompok atau pribadi secara bergantian menyerukan keluhan mereka terhadap apa yang dilakukan Soeharto pada masa ketika menjadi Presiden RI yang ke-dua. Dari veteran PKI juga ada yang ikut berorasi karena merasa diperlakukan secara tidak adil dan kejam oleh Soeharto.
Mulanya aku yang berada di tepi jalan karena mengingat cuaca sangat panas, namun kemudian aku disodorkan bendera PMII oleh seorang anggota PMII dan memintaku untuk turun meramaikan demo tersebut. Aku pun ikut serta menandatangani di atas kain putih panjang dan ikut gerombolan para demonstran sambil mengibar-ngibarkan bendera PMII yang aku pegang.
Pengalaman demo yang pertama itu tidak akan ku lupakan walaupun tak ada peran yang berarti namun itu bisa menambah pengetahuan dan ilmu bagiku serta memicu semangat nasionalismeku sebagai seorang mahasiswa untuk menyuarakan keluhan terhadap bangsa ini.

Rabu, 01 Desember 2010

Menentang Kebijakan Bupati Wonogiri

Pada tanggal 26 Nopember 2010 yang lalu tepatnya pada pukul 20.00 WIB di Wisma Seni, Taman Budaya Jawa Tengah. Diadakan kumpul-kumpul antara budayawan Kota Solo dan para warga yang berminat, termasuk mahasiswa. Pada kesempatan itu hadir pula Gusti Pangeran Benowo dan juga dhalang kondang Ki Manteb Sudharsono.
Dalam pertemuan itu membahas dua permasalahan. Yang pertama tentang "Revolusi Budaya Kota Solo" yang diwacanakan oleh walikota, Djoko Widodo. Dan yang kedua yakni tentang "Rencana Penghapusan Ritual-ritual Adat Jawa (seperti: Larung Saji, Sedekah Bumi, dan lain sebagainya) oleh Bupati Wonogiri yang baru dilantik, Pak Danar.
Dari kedua permasalahan tersebut yang paling disorot tentunya masalah yang kedua. Karena jelas menyangkut adat Jawa.
Berdasarkan informasi dari salah satu wartawan yang ikut hadir dalam acara pada malam hari itu mengatakan bahwa siang hari sebelumnya dia ke Wonogiri dan dia mengatakan bahwa situasi di Wonogiri sekarang ini mencekam, bahkan dia juga mengatakan bahwa warga Wonogiri sudah siap tempur apapun yang terjadi.
Pada tahun-tahun sebelumnya jika ingin mengadakan acara seperti sedekah bumi mereka tinggal meminta dana dari pemerintah namun sekarang mereka tak berani memberitakan secara luas jika ingin mengadakan acara semacam itu. Kini mereka secara swadaya membuat dan mengajukan proposal pengadaan kegiatan dan meminta dana kepada warga yang dinilai cukup mampu secara ekonomi.
"Ojo seru-seru Mas nek arep ngomong masalah sedekah bumi, saiki ning kene siutasine wis angel. Pemerintah wis mulai nglarang anane acara koyo kwi." Jawab warga berdasarkan info dari wartawan itu yang menanyakan masalah sedekah bumi kepada warga Wonogiri.
Bupati Wonogiri yang didukung dari parta PPP, Gerindra, dan PAN ini diduga terlibat kontrak politik dengan partai yang membawanya yang mungkin membumbui ajaran 'Islam fundamentalis' kepada Bupati sehingga dimasukkan ke dalam program kerja pemerintahan Kabupaten Wonogiri. Islam yang keras yang melarang segala macam bentuk kegiatan yang mengarah kepada kesyirikan. Padahal masalah syirik itu tergantung pada niat orang yang melakukannya.
Menurut pernyataan salah seorang budayawan yang hadir bahwa Danar (Bupati terpilih Wonogiri) itu suka perdukunan tapi mengapa sekarang dia malah mengharamkan hal itu, ini berarti mengindikasikan bahwa dia benar-benar menjalankan kontrak politik dari partai penyokongnya.
Ki Anom Suroto juga ikut berpendapat, "Budaya dan Agama itu lebih dulu budaya. Keduanya berjalan berdampingan tapi tak dapat dipisahkan karena keduanya sangat berkaitan." Beliau mengutarakan pendapatnya dari perspektif profesinya sebagai seorang budayawan dan dhalang. "Bumi itu tempat kita berpijak, tempat buang hajat, tempat mencari nafkah untuk hidup, masa kita mau menyedakahinya sebagai rasa syukur kepada Allah kok dilarang, diharamkan. Memang agama mengajarkan demikian." Ujar beliau. Intinya beliau menolak dan menentang kebijakan Bupati tersebut.
Wacana tersebut awalnya mencuat ketika dalam suatu surat kabar tertulis bahwa Bupati Wonogiri mengharamkan Larung Saji, Sedekah Bumi, dan ritual adat Jawa lainnya. Dari situ akhirnya para budayawan Kota Solo bergerak dan bermaksud untuk mengadakan audiensi untuk menyelesaikan masalah tersebut.