Selasa, 08 Februari 2011

Back to Pekalongan

Sabtu, 5 Pebruari 2011 hari yang sangat melelahkan setelah seharian berlibur ke Gunung Tangkuban Parahu. Pukul 17.30 WIB kami bertiga diantar oleh kakakku menuju ke agen bis Bandung Express untuk pulang ke Pekalongan. Kami diantar menggunakan mobil.
Tak tahu kenapa sebelum naik mobil sepertinya Hendri dan Irzam nampak pucat. Mungkin gara-gara terlalu lelah selama perjalanan dari Tangkuban Parahu ke rumah sehingga mereka berdua merasa pusing. Aku pun menyarankan kepada mereka untuk sedia plastik untuk jaga-jaga apabila di dalam mobil muntah. Ternyata setelah kami masuk mobil dan mobil baru jalan sekitar 200 meter Irzam pun langsung membuka plastiknya dan muntah. Kasihan sekali dia. Hendri yang pada waktu itu duduk di sampingnya ikut-ikutan mau muntah tetapi belum sampai muntah.
Jalan menuju agen macet parah. Sesampainya di perempatan dekat agen kami pun turun dan kami pamit dengan kakakku. Setelah itu kami menepi ke trotoar, di trotoar giliran Hendri yang muntah. Merasa belum cukup Irzam pun memuntahkan isi perutnya lagi. Memang, nasib dan derita orang yang jarang bepergian jauh.
Setelah kami sampai di agen kami langsung mengambil tiket yang sudah kami pesan sehari sebelumnya dan membayar senilai Rp240.000,00 untuk tiga orang. Sebelum masuk bis kami menunaikan Salat Maghrib terlebih dahulu karena memang waktu sudah masuk waktu Maghrib. Di tempat kami menunggu bis Hendri dan Irzam masih saja merasa mual, rasanya mereka berdua belum siap untuk masuk ke bis.
Akhirnya ketika bis yang akan kami naiki sudah siap kami pun masuk dan mereka berdua dengan sangat terpaksa juga ikut masuk, tak lupa dengan plastik yang sudah mereka pegang. Setelah masuk dan mengambil tempat duduk di jok belakang Irzam langsung muntah lagi dan Hendri pun mencari minyak wangi atau balsam untuk mengurangi rasa mual pada Irzam. Hendri pun meminjam milik seorang ibu yang se-bis dengan kami. Dan ibu itu menyarankan agar Irzam meminum teh hangat, Hendri akhirnya keluar mencarikan tisu dan teh hangat yang disarankan oleh ibu tersebut.
Teh yang sudah dibeli Hendri pun akhirnya diminum oleh Irzam dan memang efeknya cukup signifikan. Rasa mual dan ingin muntah mulai berkurang. Sepanjang perjalan pulang mereka berdua menghabiskan waktunya untuk tidur sedangkan aku bingung tak tahu mau apa. Ngantuk tetapi mata sulit terpejam. Mau sms teman yang biasa ku sms tetapi malas, mau internetan pulsa HP Irzam habis. Akhirnya ku paksakan mataku untuk terpejam.
Sepanjang perjalanan pulang kami melewati jalan panturan lagi yang rusak berat. Lubang dan jalan yang tidak rata kembali kami temui. Semoga ada pembenahan secepatnya dari pemerintah mengingat risiko bahaya kecelakaan yang akan ditimbulkan dari rusaknya jalan di pantura itu sangat tinggi.
Minggu, 6 Pebruari 2011 pukul 04.00 WIB kami tiba di Pekalongan. Alhamdulillah kami pulang dengan selamat.
Demikian rangkaian cerita perjalanan kami ke Bandung hingga kembali lagi ke kampong halaman.

Eksotisme Tangkuban Parahu dan Angkot Penipu

Sabtu, 5 Pebruari 2011 menjadi hari terakhir kami di Bandung. Di hari itu kami berencana untuk ke Gunung Tangkuban Parahu. Gunung yang mempunyai cerita hingga dijadikan legenda Gunung Tangkuban Parahu, yakni Sangkuriang. Untuk lebih jelas tentang cerita Sangkuriang silakan browsing saja di google atau di search engine lain.
Sebelum kami berangkat kami diberi petunjuk oleh kakakku mengenai rute dan angkot mana saja yang harus kami naiki. Setelah kami paham kami pun langsung berangkat.
Mula-mula dari Cibabat kami diantar kakakku menggunakan mobil. Kemudian kami naik angkot menuju Parongpong dan selanjutnya naik angkot lagi menuju Lembang. Setibanya di Lembang kami langsung dibawa kondektur angkot untuk naik ke angkotnya jurusan Tangkuban Parahu. Berhubung tak tahu daerah situ kami hanya diam dan ikut saja.
Sesampainya di pintu gerbang masuk ke kawasan wisata Tangkuban Parahu kondektur angkot tersebut turun dan membayarkan uang tiket masuk. Mungkin karena bodohnya kami atau karena memang benar-benar terhipnosis oleh kondektur tadi kami pun tak Tanya-tanya masalah tiket masuk. Sesampainya di parkiran kondektur mengatakan kalau mau minta ditunggu silakan saja, tidak usah tergesa-gesa, sejam dua jam taka pa-apa. Dan ketika dia menyebut biaya angkot ke menuju ke Tangkuban Parahu kami pun kaget, Rp35.000,00 untuk jarak yang tidak seberapa. Akhirnya ku putuskan untuk konfirmasi ke kakakku apakah benar ongkosnya sebanyak itu dan kakakku menjawab ternyata itu kemahalan dan kami disuruh untuk menawar. Ditambah biaya masuk Rp13.000,00 seharusnya kami harus membayar Rp48.000,00 perorangan. Setelah cukup lama tawar menawar dan saling keukeuh akhirnya kami bertiga putuskan untuk membayar Rp140.000,00 untuk tiga orang. Dan kondektur juga berkata kalau di situ tak ada angkutan untuk kembali ke Lembang, tetapi apa yang dikatakan dia ternyata berbeda dengan yang dikatakan kakakku. Kata kakakku ada banyak angkutan menuju ke Lembang. Ketahuan, bahwa kondektur tadi telah membohongi kami.
Setelah turun dari angkot kami pun menuju ke keramaian orang yang berwisata di sana. Sebelumnya aku bertanya pada petugas parkir di situ mengenai angkutan ke Lembang, kata beliau ada banyak dan biayanya Cuma Rp25.000,00 perorangan. Wah, kami ternyata ditipu kondektur dengan biaya angkot tadi.
Kami pun mencoba untuk melupakan kejadian tersebut dengan berfoto dan melihat panorama indah di sana. Baik kawah yang aktif maupun yang tidak aktif kami foto untuk kenang-kenangan. Mengambil beberapa gambar dari berbagai posisi dan sudut untuk dijadikan sebagai kenang-kenangan bahwa kami pernah ke Tangkuban Parahu.
Dari ujung hingga ke ujung kami telusuri sekitar kawah dengan bau belerang yang sangat menyengat. Hingga akhirnya kami sampai di sebuah tempat yang sangat indah, di situ ada seperti muara sungai dengan pasir coklat. Di situ terdapat tempat lapang berupa pasir coklat dan ternyata banyak orang turun ke situ dan menuliskan sesuatu entah itu nama atau apapun dengan cara menata batu-batu yang dibentuk huruf.
Waktu menunjukkan pukul 13.30 WIB dan kami pun akhirnya mencari mushalla untuk menunaikan Salat Dhuhur. Dinginnya air Tangkuban Parahu kami rasakan ketika berwudhu. Rasanya seperti air yang dibekukan di freezer lemari es, dingin bukan main. Apalagi kalau di daerah yang bersalju, tak bisa dibayangkan dinginnya. Setelah Salat kami sempatkan untuk minum kopi dan makan gorengan yang dijajakan oleh para penjual di sana. Nikmat sekali rasanya.
Akhirnya kami pun pulang dengan menggunakan angkutan umum mobil L-300 dengan biaya Rp30.000,00 karena penumpang tidak genap 15 orang. Kalau genap 15 orang maka hanya Rp25.000,00 yang harus kami bayar kepada supir. Kami diantar sampai ke Lembang dan naik angkot kembali ke rumah kakakku sekitar pukul 16.30 WIB.
Benar-benar perjalanan yang melelahkan apalagi ditipu angkot.
Mudah-mudahan tulisan ini bisa menjadi info bagi pembaca yang barang kali ingin berlibur ke Tangkuban Parahu.

Pusat Distro Di Plasa Parahyangan

Jumat, 4 Pebruari 2011 setelah Salat Jumat kami melanjutkan touring kami di Kota Kembang Bandung. Kali ini yang jadi tujuan adalah Plasa Parahyangan. Pusat Distro di Bandung bahkan di Indonesia.
Dengan menggunakan angkot lagi kami bertiga pergi meninggalkan rumah kakakku dan langsung menuju ke Plasa Parahyangan. Dengan dua kali naik angkot kami pun akhirnya sampai di Plasa Parahyangan. Siang itu hujan turun di kawasan Plasa Parahyangan. Walaupun hujan tetapi kawasan tersebut tetap ramai pengunjung. Itulah Bandung, tak pernah sepi dari aktivitas belanja.
Dari satu distro ke distro lain kami jajaki. Hendri dan Irzam nampaknya sangat berminat dengan jaket dan blazer di sana. Irzam berniat ingin mencari jaket sedangkan Hendri mencari blazer. Sedangkan aku tidak berminat dengan pakaian distro sehingga aku hanya melihat-lihat saja menemani mereka berdua. Yang ku minati hanyalah jaket klub sepak bola. Aku sebetulnya ingin sekali mencari jaket waterproof AC Milan tetapi di sana tidak ku temukan. Karena di sana bukanlah pusat dari sport station tetapi memang distro, usaha yang sedang berkembang di Indonesia yang pusatnya di situ.
Setelah berkeliling di Plasa Parahyangan ternyata Hendri dan Irzam tak menemukan yang cocok bagi mereka. Entah benar-benar tak ada yang cocok ataukah ada alasan lain. Aku tak tahu. Dari situ selanjutnya kami lanjutkan perjalanan menuju ke Masjid Raya Bandung yang tak jauh dari Plasa Parahyangan dan alun-alun. Dengan jalan kaki kami menuju ke masjid. Hujan yang semakin deras mengguyur kawasan tersebut. Berhubung waktu sudah menunjukkan pukul 16.30 WIB kami pun langsung masuk masjid dan mengambil air wudhu dan langsung melaksanakan Salat Ashar.
Ketika itu aku jadi imam dan ada satu orang lain selain Hendri dan Irzam yang ikut ma’mum. Mungkin saking capeknya dan pikiran tidak jelas aku pun sempat lupa ketika salat. Yang seharusnya aku tahiyat akhir malahan berdiri lagi. Untungnya Hendri dan Irzam mengingatkanku dengan bacaan tasbih, Subhanallah. Tidak seperti Nanang dulu yang mengucapkan Astaghfirullah bukan Subhanallah (lihat tulisan lainku Bukannya Subhanallah Tetapi MalahAstaghfirullah). Karena diingatkan dengan bacaan tersebut akupun secara refleks langsung duduk tahiyat kembali, dan salat pun akhirnya selesai.
Halaman masjid yang luas dan cukup indah membuat kami tertarik untuk menuju ke salah satu tempat di tengah halaman tersebut. Banyak orang juga yang duduk-duduk di sana. Hujan pun turun semakin deras dan tempat kami berteduh ternyata juga tak cukup meneduhi kami dari air hujan. Akhirnya kami putuskan untuk berlari masuk masjid kembali. Ketika hujan cukup reda kami sempatkan untuk berfoto di depan masjid. Sambil menunggu datangnya waktu Maghrib kami berkeliling sekitar masjid dan mencoba mencicipi gorengan hangat yang cukup bisa menghangatkan kami di tengah guyuran hujan.
Waktu Maghrib pun tiba dan kami langsung melakukan Salat Maghrib berjamaah.
Kemudian kami putuskan untuk pulang. Tetapi sebelum pulang kami masuk ke Matahari Department Store dekat dengan tempat kami turun dari angkot. Di sana ternyata ada pertunjukan menyanyi anak dan lomba piano dalam rangka memeriahkan Imlek. Tak lama kami berkeliling di sana dan kami putuskan untuk cari makan di sekitar tempat itu. Akhirnya warung nasi goring menjadi pilihan kami, harganya yang tak mahal menjadi prioritas kami.
Setelah selesai makan kami pun memutuskan untuk pulang ke rumah kakakku dengan menggunakan angkot lagi.
Itulah perjalanan hari kedua kami di Bandung.

Elitnya PVJ (Paris Van Java) dan Merakyatnya Pasar Baru Bandung

Kamis, 3 Pebruari 2011 hari pertama kami liburan di Bandung. Pukul 13.00 WIB kami bertiga, saya, Hendri, dan Irzam pamit kepada kakakku untuk jalan-jalan keliling Kota Kembang Bandung. Dengan menggunakan angkot kami pun menuju ke PVJ (Paris Van Java). Mungkin karena Bandung itu dianggap sebagai pusat mode di Indonesia sehingga mall tersebut dinamakan PVJ, kalau orang bilang, Parisnya Jawa. Memang benar, melihat keglamoran Kota Bandung dan masyarakatnya pantas jika Bandung disebut sebagai Parisnya Indonesia.
Hari itu adalah hari raya Imlek, sehingga nuansa Imlek dengan hiasan lampion dan ornament serba merah menghiasi PVJ dan semakin menambah kesan megah dan elitnya PVJ sendiri. Mayoritas orang-orang yang datang ke situ adalah warga Tiong Hoa. Entah mengapa mereka memilih PVJ.
Rasa kagum, heran, dan takjub bercampur baur di pikiranku. Betapa elitnya PVJ, sepanjang outlet yang kami lihat rasanya itu bukan wilayah kami, malu sendiri jika ingin masuk. Dari satu sudut ke sudut lain segala barang mewah mulai dari pakaian hingga perabot rumah tangga mendominasi PVJ.
Ternyata di PVJ ku temukan Manchester United Café Bar. Bangunannya dibuat khas mirip bangunan Stadion Old Trafford markas setan merah. Dengan susunan batu bata merah tanpa disemen ulang dan tanpa cat. Kursi-kursi café yang dibuat seperti banch (bangku cadangan) Stadion Old Trafford ditambah galeri foto dan juga jersey United yang dipajang di dalam café tersebut semakin menambah kesan elit sebuah café. Aku dan Hendri yang juga Manchunian sejati tak ingin melewatkan momen di café tersebut. Kami berdua menyempatkan berfoto di salah satu sudut café yang di jendelanya terpampang gambar Old Trafford serta deskripsinya dalam Bahasa Inggris. Irzam yang notabene bukan Manchunian tetapi Romanisti ku suruh untuk memotret kami. Dia sebetulnya juga ingin foto di situ tetapi dia gengsi masa’ seorang Romanisti berfoto di café United.
Setelah keliling PVJ dan tanpa membeli satu barang pun kami akhirnya kembali melanjutkan perjalanan kami berkeliling Kota Kembang. Kali ini tujuannya adalah Pasar Baru. Pasar yang terkenal hingga seantero Indonesia. Dengan menggunakan angkot kami menuju ke sana.
Sesampainya di sana aku pribadi merasa heran, ternyata dugaanku tentang Pasar Baru salah. Tadinya aku berpikir kalau Pasar Baru itu mewah dan megah, ternyata sama seperti Pasar Klewer yang biasa ku lihat. Berbagai pakaian baik grosir maupun eceran lengkap di sana. Berbeda dengan PVJ yang sangat mewah dan elit, Pasar Baru condong merakyat. Barang-barang yang dijual pun adalah barang-barang dengan level harga ekonomi menengah ke bawah.
Tetap saja kami bertiga bingung mau membeli apa, saking banyaknya pakaian dari kaos hingga jaket. Padahal dana sih ada. Dari lantai bawah hingga atas kami tidak membeli satu pun barang. Malahan kami hanya mencoba menggunakan lift saja, maklumlah orang desa. Di daerah kami tak ada lift seperti itu. Tawa bodoh dari kami mungkin membuat orang lain heran melihat kami. Mungkin mereka menganggap kalau kami ini benar-benar orang desa yang katro. Naik lift saja bingung.
Tak apalah orang mau berkata apa, yang penting kami dapat berkeliling Kota Kembang. Dari PVJ yang sangat elit hingga Pasar Baru yang merakyat sudah kami kunjungi. Tinggal wisata alamnya yang nantinya juga akan kami kunjungi.
Itulah sedikit cerita perjalan kami berkeliling Kota Kembang Bandung.

Journey To Bandung


Rabu, 2 Pebruari 2011 pukul 22.00 WIB kami bertiga, saya, Hendri, dan Irzam berangkat dari rumah masing-masing menuju ke agen bis Bandung Express. Hujan deras mengiringi perjalanan menuju ke agen.
Irzam ternyata lebih dulu sampai di sana. Kemudian aku datang dan terakhir Hendri. Tak lama menunggu ternyata bis datang, kondektur menawarkan kepada kami tempat duduk di balkon berhubung sudah penuh dan bis di belakangnya juga penuh. Dia menawarkan Rp70.000,00 untuk masing-masing dari kami. Kalau di kursi umum Rp80.000,00 tetapi berhubung sudah tidak ada jadi terpaksa kami mau. Kami pun naik dan langsung masuk dan duduk di balkon. Sempit dan tidak empuk. Paling terasa getarannya jika melewati jalan yang tidak rata. Parahnya lagi tepat di atas aku duduk itu adalah pembuangan AC, jadi AC dari seluruh bis akan mengalir ke situ jika orang lain tidak menggunakan atau menutup AC-nya. Iitulah gambarannya duduk di balkon. Tidak nyaman.
Kurang lebih pukul 22.30 WIB kami berangkat menuju Bandung. Kurang lebih 7 jam kami berada di tempat yang ku anggap tidak nyaman. Tetapi anehnya Irzam yang biasanya mabuk bahkan muntah, waktu itu sama sekali tidak merasa mual atau mabuk ingin muntah. Katanya malah merasa nyaman duduk di situ. Hendri juga berkata demikian. Memang dasar mereka berdua aneh bukan main.
Sepanjang perjalanan kami habiskan waktu kami untuk ngemil, sms-an, dan internetan menggunakan HP canggih milik Irzam. HP China yang dibelikan kakaknya ketika SMA. Kami bertiga bergantian menggunakan HP tersebut.
Saking bingungnya mau ngapain, aku pun akhirnya sms-an sama teman (masih teman) cewek. Sms nggak jelas, ngomong sana-sini, saling ejek antar daerah menjadi topik sms dengan dia. Sangat menarik jika sms dengannya. Ada rasa yang berbeda, entah apa namanya rasa yang seperi itu. Bagi yang belum cukup umur pasti tidak tahu.
Sementara aku sms-an karena sulitnya memejamkan mata karena merasa sangat kedinginan, Irzam dan Hendri malah dengan enak dan nyamannya tidur nyenyak dengan mimpi yang indah pula. Iri melihat mereka berdua.
Sepanjang perjalanan ku rasakan banyak getaran yang sangat dahsyat karena jalan pantura rusak berat akibat cuaca yang tidak jelas. Lagi-lagi ini adalah dampak global warming, perubahan iklim mengakibatkan cuaca yang tidak jelas, kadang hujan deras kadang panasnya minta ampun. Pantas saja kalau jalan pantura yang tiap harinya dilalui oleh ribuan kendaraan bermuatan besar jadi rusak parah, berlubang hingga beberapa centimeter.
Alhamdulillah pukul 05.00 WIB kami sampai di Cicaheum tempat berhentinya bis Bandung Express. Kami pun langsung tanya kepada orang sekitar bagaimana jika ingin menuju ke Cibabat. Akhirnya kami naik angkot yang langsung menuju ke Jln. Pesantren tempat yang kami tuju, yakni rumah kakak sepupuku. Sesampainya di Jln. Pesantren kami harus naik angkot lagi untuk menuju ke gang Pesantren V rumah dari sepupuku tersebut. Setelah sampai di sana langsung ku buka gerbang rumah dan ku pencet bel pintu rumah tersebut dan kami pun dipersilakan masuk dan langsung menuju ke atas untuk salat Ssubuh dan selanjutnya istirahat.
Itulah sedikit cerita perjalanan kami menuju Kota Bandung.