Minggu, 20 Maret 2011

Digoda Banci


Ini cerita nyataku ditambah sedikit fiktif biar menarik, tepatnya ini ketika aku kelas XII. Aku dulu adalah seorang aktivis – bahkan hiper aktif – dalam berbagai kegiatan di sekolah, antara lain: aktif dalam membicarakan keseharian para guru, aktif dalam membicarakan kenaikan harga makanan di kantin (terutama kantin BBB, ‘jangan sampai BBB membaca, urusan bisa gawat’), aktif sepak bola rutin tiap sore, dan yang terpenting yaitu aktif dalam menggunakan fasilitas sekolah yaitu toilet, bisa dibilang saya peringkat ke3 setelah M. Shofiyullah (sekarang dia di STAN, hebat ya) dan M. Vidi Perdana (sekarang di UNS, ga kalah hebat),  mereka pengumpul poin terbanyak untuk kategori free-style. “ga ada kami toilet sepi”.
Karena sudah terkenal keaktifannya, banyak teman-teman baik swasta maupun organisasi dan bahkan para guru yang memanggil saya untuk membantu mereka, istilahnya kerennya saya jadi “lelaki panggilan”, tak apalah asalkan jangan “hombreng” saja. Ya, karena “hombreng” itu keji, virus mematikan setelah flu burung (awas, bukan burungnya yang flu). Sudah banyak korban “hombreng”, diantaranya saya sendiri, Mohamad Irzam Hasani, dan Hendrian Hermanu Legowo. Kami bertiga sempat akan jadi korban mutilasi seperti yang dilakukan Ryan yang di tipi-tipi di acara krimina. (eh, maaf nyebut nama)
Suatu hari anak-anak pramuka sedang mengadakan rapat untuk acara KPAA, ga perlu dijelaskan apa itu KPAA, ane ga ta dan ga bakalan keluar dalam ujian nasional. Saya yang kebetulan lewat tiba-tiba dipanggil oleh Pradananya yaitu Gempar Tri Asmara yang didampingi Big Boss, Firman Ariyandi.
Firman: “Eh, Dif…malam Minggu ada KPAA, bisa bantu ga buat jadi keamanan?”
Aku: “Yang dimintai bantuan siapa aja Boss? Jangan ane sendirian ya, malu, ntar  disangka sukanya ikut-ikutan.”
Gempar: “Sama Irzam Dif, soulmate-mu.” (ngomong kayak ga punya dosa)
Aku: “Ya wis lah, oke.”
Tak kerasa tibalah malam Minggu yang ditunggu-tunggu, aku datang sama Irzam. Sesampainya di sekolah kami disambut dengan gembira oleh  panitia. “Ayo, monggo… kopi dan gorengan sudah siap.” Kami pun langsung menempatkan diri di pos masing-masing.
“Acara intinya dimulai pukul 23.00, nanti kita berjalan ke Gorodiyo (makam yang dianggap cukup angker) di daerah Prawasan. Rutenya lewat Jln. Podo – Capgawen.” Ujar Gempar dalam briefing sebelum keberangkatan. “Nanti Rodif sama Irzam ikut mendampingi di belakang adik-adik.”
Tibalah di acara inti, ketika rombongan melewati Jln. Podo – Capgawen di situ ternyata ada sebuah warung remang-remang yang dijadikan tempat kumpul banci-banci yang memang rutin tiap malam Minggu. Ketika itu aku berjalan sendirian di bagian paling belakang, sedangkan panitia dan para peserta KPAA di depan. Karena memang tugasku untuk mengamankan acara tersebut jadi ya harus siap siaga di manapun berada.
Bukannya menyombongkan diri atau gimana, tapi memang ketika acara jalan malam tersebut yang gaya berpakaiannya paling stylish adalah aku (mungkin cuma di acara itu saja, haha). Dengan mengenakan jaket tebal – karena memang merasa kedinginan dan aku memang tak mau berpakaian pramuka resmi karena hanya sebagai tamu undangan. Sedangkan yang lain mengenakan pakaian pramuka lengkap dengan topi, hasduk, dan segala emblemnya. Jadi pantas saja dari rombongan itu aku yang dianggap paling punya daya tarik tersendiri, kalo cewek itu istilahnya ‘inner beauty’. Haha
Ketika rombongan melewati gerombolan banci, mereka (para banci) saling berbisik, “Eh, bok… tu ada rombongan anak-anak pramuka, cantik-cantik ya…”. Mendengar bisikan itu asli aku sangat takut, takut kalo sampai itu para banci berbuat macam-macam.
Eh, baru aja berpikir gitu tiba-tiba apa yang ku takutkan beneran terjadi.
“Eh, yang belakang yang pake jaket brondong deh bok, paling keren deh.” Ujar salah satu banci.
“Eh, brondong… godain kita dong.” Banci lain menambahi.
“Anjrit, sialan, ***********.” Itulah umpatan-umpatan yang terucap dalam hatiku saat itu, sambil berdoa dan dzikir apa saja yang aku bisa. “Ya Allah, ampunilah dosaku dan dosa kedua orang tuaku. Saya masih pingin hidup normal, pingin punya istri dan anak.”
Yang lebih ku takutkan sebetulnya kalo misalnya tu banci mengejarku terus mencabik-cabik, mencakar, menyobek bajuku, aku ditelanjangi, dan aku dis*d**i, nanti bisa dijadiin judul film “Banci Mengejar Bondrong”. Oh…tidak, jangan sampai itu terjadi. Saat itu aku sampai tak bisa lari, merinding. Hanya jalan dengan ekspresi pura-pura tenang.
Bayangkan, jika kalian di posisiku apa yang akan kalian lakukan? Mau larikah atau malah mendatangi mereka. Coba saja kalo berani. Asal tau aja banci lebih kuat daripada wanita dan bahkan pria. Kalo ga percaya coba aja diajang panco.
Langkah demi langkah ku lalui hingga akhirnya aku mendekati rombongan dan jarak dengan gerombolan banci sudah cukup jauh sekitar 10 meter. Situasi kembali aman.
“Alhamdulillah, aku ga jadi diapa-apakan sama mereka. Terima kasih Ya Allah, Engkau masih memberiku kesempatan untuk hidup normal.”
Tak kuat dan masih merinding aku akhirnya aku pindah di depan, ternyata di depan lebih aman, ada adik-adik yang melindungiku. Haha
Itulah kisahku sebagai tamu undangan yang digoda banci. Semoga kalian yang belum merasakan akan merasakan. Amin.