Jumat, 14 Desember 2012

Menyikap Era Globalisasi Modern

Globalisasi sudah lama menjadi topik yang sangat hangat diperbincangkan dimana-mana, dalam bidang politik, ekonomi, dan budaya tentunya. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir globalisasi sudah memasuki ranah pendidikan, menjadi wacana dan fokus dalam tiap diskusi tentang pendidikan. Akan tetapi kemudian muncul banyak kerancuan dalam pemahaman terhadap makna globalisasi dan dalam implementasinya. Yang perlu menjadi kunci dalam setiap pembahasan tentang globalisasi yaitu bagaimana menguraikan latar belakangnya dengan memahami dampak-dampak yang akan muncul nantinya di berbagai segi kehidupan lewat berbagai antisipasi dan pacuan dari berbagai kekuatan (politik, ekonomi, sosial, dan budaya) yang diharapkan bisa menyelaraskan gerakan globalisasi yang kian menguat, bukan malah ikut tergerus di dalamnya dan bahkan malah tak terarah.

Diakui atau tidak bahwa arus globalisasi pada masa sekarang ini semakin gencar dan menguat. Dengan peran media komunikasi yang semakin canggih agaknya membuat perkembangan globalisasi makin tidak bisa dibatasi. Globalisasi membuat dunia semakin sempit dengan kemajuan teknologinya. Jarak yang dulunya jauh menjadi dekat, waktu yang dulunya terasa lama kini menjadi singkat.

Secara historis globalisasi berarti meluasnya pengaruh suatu kebudayaan dan/atau agama ke seluruh penjuru dunia. Anthony Giddens menjelaskan globalisasi sebagai intensifikasi relasi sosial di seluruh dunia yang menghubungkan lokalitas yang berjauhan sehingga kejadian-kejadian lokal dibentuk oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi di belahan dunia lain. (Globalization is the intensivication of world-wide social relations which link distant localities in such a way that local happenings are shaped by events accurring many miles away and vice versa). Istilah globalisasi sering digunakan untuk menggambarkan penyebaran dan keterkaitan produksi, komunikasi, dan teknologi di seluruh dunia. Sedangkan kutipan dari Wikipedia Indonesia menyebutkan bahwa globalisasi adalah suatu proses di mana antar individu, antar kelompok, dan antar negara saling berinteraksi, bergantung, terkait, dan memengaruhi satu sama lain yang melintasi batas negara.

Jika kita menilik dari beberapa pengertian di atas maka kunci dari globalisasi adalah pengaruh. Karena pada hakekatnya setiap individu atau kelompok ingin memengaruhi individu atau kelompok lain untuk ikut ke dalam pengaruhnya.

Sebenarnya globalisasi sudah muncul di Nusantara sejak abad ke-15 ketika pedagang dari berbagai daerah lain berdatangan entah untuk sekedar singgah bahkan untuk melakukan transaksi jual beli dengan warga pribumi. Berarti globalisasi secara ekonomi Nusantara sudah mengawali terlebih dahulu meskipun secara nyatanya istilah globalisasi muncul pada tahun 1985 yang diperkenalkan oleh Theodore Levitte.

Yudi Latif dalam bukunya, Negara Paripurna, menyebutkan bahwa globalisasi modern dan posmodern menemukan pijakannya dari perlombaan gengsi antarnegara adikuasa yang mengarah pada penemuan-penemuan teknologi mutakhir, terutama dalam bidang persenjataan yang kemudian berkelindan dengan bidang telematika.

Revolusi di bidang teknologi informasi dan telekomunikasi membawa “distansi ruang-waktu” (time-space distanciation) sekaligus “pemadatan ruang-waktu” (time-space compression) yang merobohkan batas-batas ruang dan waktu konvensional (Giddens, 1999; Harvey, 1989).1 Inilah bagian dari efek diferensial yang ditimbulkan dari globalisasi yang muncul sejak abad ke-20 hingga sekarang ini.

Jika kita mau mengkaji lebih dalam tentang globalisasi secara implisit kita akan menemukan bahwa pada kenyataannya globalisasi merupakan bentuk baru dari imperialisme dengan bersenjatakan standarisasi internasional. Kenapa demikian? Karena dalam globalisasi pada akhirnya akan menerpa semua bagian dunia yang diawali dengan pengaruh besar dari negara adidaya. Secara kasarnya dunia ini akan menerapkan sistem hukum rimba, siapa yang kuat dialah yang akan berkuasa. Akan tetapi hal itu tidak akan terjadi jika gerakan globalisasi mampu diantisipasi dengan konsep yang terstruktur dan terdesain secara baik.

Semakin menipisnya batas teritorial negara berakibat semakin tereduksinya kekuatan sebuah pemerintahan dalam membatasi warganya, terutama dalam lifestyle dan budaya yang berubah-ubah dengan cepat merupakan salah satu bentuk nyata dari globalisasi. Kemudian perdagangan bebas, termasuk komoditi pendidikan juga menjadi arahan lain dari globalisasi yang terjadi.

Akibat dari globalisasi ini kemudian memunculkan beberapa kelompok baru yakni mereka yang pro terhadap globalisasi dan antiglobalisasi. Mereka yang proglobalisasi menganggap bahwa globalisasi dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran ekonomi masyarakat dunia. Lain halnya dengan mereka yang antiglobalisasi mengatakan bahwa mereka tidak mau dipersatukan dalam ekonomi dan sistem perdagangan global saat ini, yang menurut mereka mengikis lingkungan hidup, hak-hak buruh, kedaulatan nasional, dunia ketiga, dan banyak lagi penyebab-penyebab lainnya.

Tentunya dari kenyataan yang kita hadapi saat ini kita bisa mengetahui manakah sisi positif dan negatif dari sebuah gerakan globalisasi yang kian pesat ini. Sebagai kaum intelektual muda Indonesia yang visioner, inovatif, berkarakter, dan menjunjung tinggi Pancasila sebagai falsafah hidup kita akan dapat menentukan bagaimana langkah kita untuk menghadapi era globalisasi ini. Apakah kita akan memilih mundur atau terus maju melawan arus bahkan menjadi arus baru yang akan mampu menjadikan bangsa ini kian besar. Sudah barang tentu kita bersikap kritis dalam menghadapi geliat globalisasi ini.


___________
1Lihat, Yudi Latif, Negara Paripurna (2011), hlm. 225.

Materi ini disampaikan dalam diskusi Globalisasi PMII Komisariat Kentingan, Kamis (13/12).

Salam Menulis!
Dzikir, fikir, dan amal shaleh

Rabu, 05 Desember 2012

Kebiasaan Buruk

Setiap orang mempunyai kebiasaan yang berbeda-beda, entah itu yang baik ataupun yang buruk. Alangkah baiknya kebiasaan-kebiasaan yang positif itu untuk terus dilanjutkan dan dikembangkan untuk kebaikan pribadi maupun orang lain. Sedangkan kebiasaan yang buruk sebisa mungkin untuk tidak semakin menjadi hal yang membudaya dan terus dilakukan, meskipun namanya kebiasaan akan tetapi  jangan dibiasakan karena memang tidak menghasilkan suatu hal yang bermanfaat.

Saya menulis kalimat di atas bukan berarti saya sok bijak atau apa karena saya juga mempunyai banyak kebiasaan buruk—yang sampai sekarang masih terus saya lakukan. Ini sekedar untuk bahan refleksi dan diharapkan bisa menjadi sebuah motivasi tersendiri bagi diri saya yang seperti ini.

Jujur, saya belum bisa istiqomah dalam banyak hal. Baik itu berkaitan dengan ibadah—karena saya sebagai hamba Tuhan, menuntut ilmu (kuliah), dan hal-hal lain baik itu bersifat sosial ataupun individu saya sendiri.