Senin, 02 Juli 2012

Menikmati Pendidikan Hanya Sebuah Harapan


“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial … “

Begitulah bunyi penggalan dari alinea ke-4 pembukaan UUD 1945 yang telah disusun dengan penuh cita-cita dan harapan dari dalam hati para pendiri negeri ini. Harapan yang ingin terwujud di sepanjang masa kehidupan bangsa ini. Namun faktanya, apakah kita sudah bisa mewujudkannya? Apakah kita semua sudah bisa menikmati salah satu poin dari alinea tersebut, yakni pendidikan? Apakah kita semua sudah berupaya dengan sekuat tenaga untuk mengembangkan pendidikan yang mencerdaskan untuk rakyat Indonesia? Minimal untuk lingkungan sekitar kita.

Masih jauh sepertinya, pendidikan masih dinikmati oleh kaum-kaum berpunya yang tinggal di daerah perkotaan dan pedesaan yang memang cenderung dekat dengan pusat pemerintahan saja. Sedangkan yang ada di pelosok-pelosok masih sangat jauh dari kemakmuran pendidikan.

Ini adalah sebuah pengalaman nyata yang saya dapat dari seorang teman tentang gadis kecil yang masih sangat belia (kira-kira seumuran anak SD kelas 6) namun sudah harus menghidupi dirinya sendiri dengan bekerja sebagai seorang pembantu di sebuah rumah kost di dekat kampus negeri elit di Kota Semarang.

Suatu hari ketika saya sedang berbincang-bincang dengan seorang teman di serambi kostnya, tiba-tiba dari sebuah pintu besar keluar gadis belia dengan rambut panjang dan kulit coklatnya membawa keranjang sampah dan plastik kresek. “Permisi Mas…” ucapnya sambil senyum manis. Rupanya gadis kecil ini sedang bersih-bersih lingkungan rumah kost tersebut.

Aku pun bertanya kepada temanku tentang anak kecil yang manis itu. Katanya, gadis belia itu adalah pembantu di rumah kost tersebut. Rupanya tak cuma dia anak di bawah umur yang bekerja di rumah itu. Ada satu lagi yang seumuran dengannya.

“Enggak banyak pembantu di sini yang kuat lama, entah kenapa? Mungkin ngerasa enggak cocok sama ibu kost.” Ucap temanku.

Aku pun bertanya-tanya dalam hati, “kok bisa ya… yang punya kost mempekerjakan anak sekecil itu untuk jadi pembantu? Berarti dia putus sekolah?”

“Dia (gadis belia) itu sangat ramah kalo sama penghuni kost, gampang akrab, jadi enak kalo mau apa-apa.” Tambahnya.

Tiba-tiba temanku menceritakan pengalamannya tentang gadis yang masih sangat belia itu.
Suatu hari ketika temanku mau turun tangga dia berpapasan dengan gadis kecil itu. Dengan terburu-buru gadis kecil itu naik tangga sambil membawa sapu. Tak lupa dia menyapa para penghuni kost dengan senyum manisnya.

Tak lama kemudian ketika temanku naik lagi ke atas untuk kembali ke kamarnya dia melihat gadis belia itu naik ke atap yang kebetulan tidak terlalu tinggi dan di sana berhadapan langsung dengan sekolah, ya SD. Jadi dari atas atap dia bisa melihat secara langsung kegiatan keseharian dari siswa SD di situ. Kata temanku, “dia sering naik atap kok, ntar ngliatin ke SD. Mungkin dia kepengen banget buat sekolah tapi kondisinya enggak bisa. Hmm kasian banget dia itu.” Ujarn temanku lagi.

Dari apa yang telah temanku ceritakan kepadaku tentang gadis belia itu, aku merasa sedih, kecewa terhadap diriku sendiri. Aku pun coba merenung, berpikir tentang kenyataan yang ada di negeri ini. Tak usah jauh-jauh di pelosok timur nusantara sana, ternyata di kota-kota besar pun masih banyak yang tidak bisa menikmati pendidikan.

Pendidikan yang dicita-citakan oleh para bapak pendiri negara ini masih terbatas hanya menjadi sebuah harapan semata, hanya angan-angan dari anak manusia di bawah umur yang nyatanya tidak bisa tercapai. Entah kondisi ekonomi keluarganya yang tidak memungkinkan untuk membiayai sekolah atau memang ada hal tertentu yang menjadikan dia memilih jalan hidupnya sebagai seorang pembantu rumah kost.

Jelas ini sungguh miris, sungguh hal yang salah memalukan yang perlu direnungkan oleh kita semua. Kita selaku orang yang mampu mengenyam pendidikan dengan tanpa harus bersusah payah dan pemerintah yang berwenang lebih selaku pemangku kebijakan yang diharapkan bisa memberikan keadilan untuk memperoleh hak pendidikan sesuai yang dicita-citakan dalam pembukaan UUD 1945, pendidikan yang mencerdaskan kehidupan bangsa.

Dia (gadis belia yang menjadi pembantu rumah kost) bukan lah satu-satunya anak bangsa yang tidak bisa menikmati pendidikan di negerinya sendiri, jika kita melihat di jalan-jalan, di lampu merah, di manapun ternyata masih banyak anak-anak yang bernasib kurang beruntung. Harus merelakan masa-masa bahagia bermain dan menikmati pendidikan dengan teman-teman sebayanya untuk bekerja mengais rezeki menghidupi dirinya dan bahkan keluarganya.

Pendidikan hanya sebuah harapan memang benar adanya. Segala upaya dari pemerintah untuk pemerataan pendidikan dirasa belum tercapai dan belum berhasil. Apabila mau merenung sejenak untuk memikirkan nasib anak-anak seperti mereka, menghilangkan segala macam kepentingan pribadi untuk memikirkan kesejahteraan bangsa, berlaku jujur dalam segala hal, maka segala cita-cita dan harapan dari para pendahulu bangsa ini akan bisa kita wujudkan bersama-sama. Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera.

Pendidikan adalah hak setiap warga negara.

Mencari ilmu itu wajib bagi semua orang, dari ayunan sampai liang lahat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dilarang keras memberi komentar yang berbau SARA dan hal Porno.