Globalisasi
sudah lama menjadi topik yang sangat hangat diperbincangkan dimana-mana, dalam
bidang politik, ekonomi, dan budaya tentunya. Bahkan dalam beberapa tahun
terakhir globalisasi sudah memasuki ranah pendidikan, menjadi wacana dan fokus
dalam tiap diskusi tentang pendidikan. Akan tetapi kemudian muncul banyak
kerancuan dalam pemahaman terhadap makna globalisasi dan dalam implementasinya.
Yang perlu menjadi kunci dalam setiap pembahasan tentang globalisasi yaitu
bagaimana menguraikan latar belakangnya dengan memahami dampak-dampak yang akan
muncul nantinya di berbagai segi kehidupan lewat berbagai antisipasi dan pacuan
dari berbagai kekuatan (politik, ekonomi, sosial, dan budaya) yang diharapkan
bisa menyelaraskan gerakan globalisasi yang kian menguat, bukan malah ikut
tergerus di dalamnya dan bahkan malah tak terarah.
Diakui
atau tidak bahwa arus globalisasi pada masa sekarang ini semakin gencar dan
menguat. Dengan peran media komunikasi yang semakin canggih agaknya membuat
perkembangan globalisasi makin tidak bisa dibatasi. Globalisasi membuat dunia
semakin sempit dengan kemajuan teknologinya. Jarak yang dulunya jauh menjadi
dekat, waktu yang dulunya terasa lama kini menjadi singkat.
Secara
historis globalisasi berarti meluasnya pengaruh suatu kebudayaan dan/atau agama
ke seluruh penjuru dunia. Anthony Giddens
menjelaskan globalisasi sebagai intensifikasi relasi sosial di seluruh dunia
yang menghubungkan lokalitas yang berjauhan sehingga kejadian-kejadian lokal
dibentuk oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi di belahan dunia lain. (Globalization is the intensivication of
world-wide social relations which link distant localities in such a way that
local happenings are shaped by events accurring many miles away and vice
versa). Istilah globalisasi sering digunakan untuk menggambarkan penyebaran
dan keterkaitan produksi, komunikasi, dan teknologi di seluruh dunia. Sedangkan
kutipan dari Wikipedia Indonesia
menyebutkan bahwa globalisasi adalah suatu proses di mana antar individu, antar
kelompok, dan antar negara saling berinteraksi, bergantung, terkait, dan
memengaruhi satu sama lain yang melintasi batas negara.
Jika kita menilik dari
beberapa pengertian di atas maka kunci dari globalisasi adalah pengaruh. Karena pada hakekatnya setiap
individu atau kelompok ingin memengaruhi individu atau kelompok lain untuk ikut
ke dalam pengaruhnya.
Sebenarnya globalisasi sudah
muncul di Nusantara sejak abad ke-15 ketika pedagang dari berbagai daerah lain
berdatangan entah untuk sekedar singgah bahkan untuk melakukan transaksi jual
beli dengan warga pribumi. Berarti globalisasi secara ekonomi Nusantara sudah
mengawali terlebih dahulu meskipun secara nyatanya istilah globalisasi muncul
pada tahun 1985 yang diperkenalkan oleh Theodore Levitte.
Yudi Latif
dalam bukunya, Negara Paripurna, menyebutkan bahwa globalisasi modern dan
posmodern menemukan pijakannya dari perlombaan gengsi antarnegara adikuasa yang
mengarah pada penemuan-penemuan teknologi mutakhir, terutama dalam bidang
persenjataan yang kemudian berkelindan dengan bidang telematika.
Revolusi
di bidang teknologi informasi dan telekomunikasi membawa “distansi ruang-waktu”
(time-space distanciation) sekaligus
“pemadatan ruang-waktu” (time-space
compression) yang merobohkan batas-batas ruang dan waktu konvensional
(Giddens, 1999; Harvey, 1989).1 Inilah bagian dari efek diferensial
yang ditimbulkan dari globalisasi yang muncul sejak abad ke-20 hingga sekarang
ini.
Jika kita mau mengkaji lebih
dalam tentang globalisasi secara implisit kita akan menemukan bahwa pada
kenyataannya globalisasi merupakan bentuk baru dari imperialisme dengan bersenjatakan standarisasi internasional.
Kenapa demikian? Karena dalam globalisasi pada akhirnya akan menerpa semua
bagian dunia yang diawali dengan pengaruh besar dari negara adidaya. Secara
kasarnya dunia ini akan menerapkan sistem hukum rimba, siapa yang kuat dialah
yang akan berkuasa. Akan tetapi hal itu tidak akan terjadi jika gerakan
globalisasi mampu diantisipasi dengan konsep yang terstruktur dan terdesain
secara baik.
Semakin menipisnya batas teritorial negara berakibat
semakin tereduksinya kekuatan sebuah pemerintahan dalam membatasi warganya,
terutama dalam lifestyle dan budaya yang berubah-ubah dengan cepat merupakan
salah satu bentuk nyata dari globalisasi. Kemudian perdagangan bebas, termasuk komoditi
pendidikan juga menjadi arahan lain dari globalisasi yang terjadi.
Akibat dari globalisasi ini kemudian memunculkan
beberapa kelompok baru yakni mereka yang pro terhadap globalisasi dan
antiglobalisasi. Mereka yang proglobalisasi menganggap
bahwa globalisasi dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran ekonomi
masyarakat dunia. Lain halnya dengan mereka yang antiglobalisasi mengatakan
bahwa mereka tidak mau dipersatukan
dalam ekonomi dan sistem perdagangan global saat ini, yang menurut mereka
mengikis lingkungan hidup, hak-hak buruh, kedaulatan nasional, dunia ketiga, dan
banyak lagi penyebab-penyebab lainnya.
Tentunya dari kenyataan yang kita hadapi saat ini kita bisa
mengetahui manakah sisi positif dan negatif dari sebuah gerakan globalisasi
yang kian pesat ini. Sebagai kaum intelektual muda Indonesia yang visioner, inovatif,
berkarakter, dan menjunjung tinggi Pancasila sebagai falsafah hidup kita akan
dapat menentukan bagaimana langkah kita untuk menghadapi era globalisasi ini.
Apakah kita akan memilih mundur atau terus maju melawan arus bahkan menjadi
arus baru yang akan mampu menjadikan bangsa ini kian besar. Sudah barang tentu kita
bersikap kritis dalam menghadapi geliat globalisasi ini.
___________
1Lihat, Yudi Latif, Negara Paripurna (2011), hlm. 225.
Materi ini disampaikan dalam diskusi Globalisasi PMII Komisariat Kentingan, Kamis (13/12).
Salam Menulis!
Dzikir, fikir, dan amal shaleh