Malam ini adalah malam kedua bulan
Ramadhan tahun ini, dimana kaum muslim ramai berbondong-bondong ke masjid atau
mushala bersama keluarga dan rekan-rekannya. Mereka berniat untuk mengikuti
ibadah shalat tarawih berjamaah untuk tambah mendekatkan diri dengan Yang Maha
Kuasa. Malam yang cerah penuh berkah di Kota Solo The Spirit of Java. Tak ada
hujan turun karena memang sudah memasuki musim kemarau. Bintang-bintang yang
berkerlipan di angkasa ikut serta menyambut datangnya bulan suci yang penuh berkah
ini. Pun hembusan semilir angin yang mencoba memasuki ruang-ruang kehangatan
menjadi bukti bahwa seluruh alam ini menyambut dengan gembira dan gegap
gempita, Marhaban Ya Syahru Ramadhan, Marhaban Ya Syahru Shiyam.
Aku bersama Mas Farid berjalan pelan
menuju masjid Al Barokah, masjid kecil di tengah kampung etnis Madura. Satu per
satu orang yang sedang duduk di emperan rumah-rumah dekat masjid kami coba
untuk salami. Berjabat tangan sambil membalas senyum yang diberikan oleh
mereka, senyum keikhlasan tentunya. Rata-rata usia mereka sudah 30 tahun ke
atas, hanya satu dua orang saja yang terlihat masih muda seumuran dengan kami.
Dengan membaca doa masuk masjid—Allahummaghfirli
dzunubi waftahli abwaba rahmatik—aku mulai memasuki masjid itu. Rupanya puluhan
jamaah sudah khusyu’ beri’ikaf dan berdzikir. Sebelum duduk ku sempatkan untuk
melakukan shalat sunah dua rakaat terlebih dahulu, shalat tahiyatul masjid.
Nizam anak dari salah satu pengurus
masjid mengambil mikrofon dan melantunkan bait demi bait shalawat yang sedang
populer di sini bahkan di seluruh Indonesia, shalawat yang semakin populer
karena sering dibawakan oleh Maulana Habib Syeich bin Abdul Qadir Assegaf.
Bait-bait dalam bahasa Jawa pun ikut masuk dalam lantunan shalawat tersebut.
Sungguh suasana ala santri yang sangat kental tentunya.
Pak Royali yang kali ini bertugas
sebagai imam sudah datang, shalat Isya’ pun dimulai. Bacaan yang indah dengan
tartil dan tajwid membuat hati menjadi lebih tentram ketika shalat. Selesai
shalat Isya’ bapak dengan perawakan gempal ini memimpin dzikiran serta doa.
Ku lihat jam di dinding terus berputar. Rakaat
demi rakaat pun telah berlalu. Kali ini shalat tarawih terasa lebih cepat jika
dibanding malam sebelumnya. Surat-surat pendek dalam tiap-tiap rakaat dalam
shalat dibaca dengan cepat oleh Pak Royali. Namun tetap sesuai kaidah tajwid. Sepertinya
beliau adalah alumni pesantren, karena bacaannya sangat fasih. Ketika menyampaikan
kultum pun bisa dilihat bahwa beliau orang yang mengerti tentang agama,
hadits-hadits dan kutipan ayat Al Quran sering kali dia keluarkan. Tak Cuma kali
ini, ketika beliau menjadi khatib shalat jum’at pun juga seperti itu.
Hingga akhirnya shalat witir selesai dan
doa pun dibacakan para jamaah masih terlihat khusyu’ mengikuti rangkaian ibadah
dalam shalat tarawih di sini. Kemudian dipimpin Pak Muhar jamaah diajak untuk
mengucapkan niat puasa secara bersama-sama. Ya, inti puasa itu ada di niat
kita. Puasa kita tidak sah jika kita tidak niat.
Kemudian jamaah dengan tertib membuat
lingkaran untuk saling bersalaman satu sama lain. Tak lupa sembari melempar senyum
ikhlas kepada jamaah lain.
Satu per satu jamaah pun ku salami. Dari
yang usianya paling tua hingga anak-anak. Beberpa dari mereka ada yang mencium
tanganku juga. Ini merupakan cerminan sikap baik yang diajarkan oleh orang tua
kepada anaknya. Mencium tangan merupakan salah satu etika yang memang sejak
zaman dahulu diajarkan oleh leluhur kita jika kita bersalaman dengan orang yang
lebih tua dengan kita.
Hingga sampai pada barisan terakhir ku
lihat ada seorang yang usianya kira-kira 25 tahunan. Dia tedak memakai sarung
dan peci seperti jamaah yang lain. Wajahnya terlihat kusut. Kaos hitam dan celana
pensil yang cukup ketat dengan percaya diri dia pakai untuk shalat ke masjid
itu. Aku terkejut ketika melihat lengannya. Tato yang cukup banyak terukir di
lengan orang itu. Dengan senyum dia menyalami satu per satu orang di masjid. Ku
amati terus orang itu, dengan tatonya yang semakin terlihat jelas membuatku
semakin terkejut dan tak mau berhenti memandangnya. Jamaah yang lain pun
seperti itu.
Aku ingat wajahnya, kemarin aku
melihatnya di dekat masjid. Dengan sepeda motor dan penampilan yang sama persis
dia berhenti di salah satu rumah yang jaraknya sangat dekat dengan masjid.
Kemarin ketika aku berboncengan dengan Mas Dalhar aku langsung berpikir dalam
hati kalau orang itu adalah preman, karena melihat tampilan luarnya. Aku tak
tahu siapa sebenarnya dia.
Namun dari apa yang ku lihat malam ini,
dia yang ikut meramaikan shalat tarawih di masjid Al Barokah dengan pakaian apa
adanya plus dengan tato yang menambah tampilan garangnya membuat aku berpikir
ulang. Ternyata masih ada orang seperti dia, preman yang mau shalat.
Entah siapa dia, apakah preman atau bukan aku tak tahu. Subhanallah, semoga apa
yang dia lakukan membuat kita sadar bahwa apa yang diungkapkan dalam sebuah
peribahasa itu memang benar. Don’t judge a book by its cover. Dan hal
ini membuatku ingat akan apa yang diceritakan oleh Gus Mus dalam cerpennya, Gus
Ja’far. Kisah tentang seorang Kyai alim yang di dahinya tertulis dengan jelas
satu kata, yaitu “kafir”.
Semoga bermanfaat.
Ditulis pada 21/7 di Sekre PMII KentinganUNS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Dilarang keras memberi komentar yang berbau SARA dan hal Porno.