Sabtu, 21 Juli 2012

Preman pun Ikut Tarawih


Malam ini adalah malam kedua bulan Ramadhan tahun ini, dimana kaum muslim ramai berbondong-bondong ke masjid atau mushala bersama keluarga dan rekan-rekannya. Mereka berniat untuk mengikuti ibadah shalat tarawih berjamaah untuk tambah mendekatkan diri dengan Yang Maha Kuasa. Malam yang cerah penuh berkah di Kota Solo The Spirit of Java. Tak ada hujan turun karena memang sudah memasuki musim kemarau. Bintang-bintang yang berkerlipan di angkasa ikut serta menyambut datangnya bulan suci yang penuh berkah ini. Pun hembusan semilir angin yang mencoba memasuki ruang-ruang kehangatan menjadi bukti bahwa seluruh alam ini menyambut dengan gembira dan gegap gempita, Marhaban Ya Syahru Ramadhan, Marhaban Ya Syahru Shiyam.

Aku bersama Mas Farid berjalan pelan menuju masjid Al Barokah, masjid kecil di tengah kampung etnis Madura. Satu per satu orang yang sedang duduk di emperan rumah-rumah dekat masjid kami coba untuk salami. Berjabat tangan sambil membalas senyum yang diberikan oleh mereka, senyum keikhlasan tentunya. Rata-rata usia mereka sudah 30 tahun ke atas, hanya satu dua orang saja yang terlihat masih muda seumuran dengan kami.

Dengan membaca doa masuk masjid—Allahummaghfirli dzunubi waftahli abwaba rahmatik—aku mulai memasuki masjid itu. Rupanya puluhan jamaah sudah khusyu’ beri’ikaf dan berdzikir. Sebelum duduk ku sempatkan untuk melakukan shalat sunah dua rakaat terlebih dahulu, shalat tahiyatul masjid.

Nizam anak dari salah satu pengurus masjid mengambil mikrofon dan melantunkan bait demi bait shalawat yang sedang populer di sini bahkan di seluruh Indonesia, shalawat yang semakin populer karena sering dibawakan oleh Maulana Habib Syeich bin Abdul Qadir Assegaf. Bait-bait dalam bahasa Jawa pun ikut masuk dalam lantunan shalawat tersebut. Sungguh suasana ala santri yang sangat kental tentunya.

Pak Royali yang kali ini bertugas sebagai imam sudah datang, shalat Isya’ pun dimulai. Bacaan yang indah dengan tartil dan tajwid membuat hati menjadi lebih tentram ketika shalat. Selesai shalat Isya’ bapak dengan perawakan gempal ini memimpin dzikiran serta doa.


Tarawih

Kemudian shalat tarawih pun dimulai, namun sebelumnya seperti biasa Pak Muhar ketua pengurus masjid mengucapkan beberapa kalimat dalam bahasa arab yang menjadi ciri khas dalam shalat tarawih. Kalimat yang juga dimaksudkan untuk penanda tiap dua rakaat selama shalat tarawih ini berlangsung. Pada malam kedua ini beliau bertugas sebagai bilal.

Ku lihat jam di dinding terus berputar. Rakaat demi rakaat pun telah berlalu. Kali ini shalat tarawih terasa lebih cepat jika dibanding malam sebelumnya. Surat-surat pendek dalam tiap-tiap rakaat dalam shalat dibaca dengan cepat oleh Pak Royali. Namun tetap sesuai kaidah tajwid. Sepertinya beliau adalah alumni pesantren, karena bacaannya sangat fasih. Ketika menyampaikan kultum pun bisa dilihat bahwa beliau orang yang mengerti tentang agama, hadits-hadits dan kutipan ayat Al Quran sering kali dia keluarkan. Tak Cuma kali ini, ketika beliau menjadi khatib shalat jum’at pun juga seperti itu.

Hingga akhirnya shalat witir selesai dan doa pun dibacakan para jamaah masih terlihat khusyu’ mengikuti rangkaian ibadah dalam shalat tarawih di sini. Kemudian dipimpin Pak Muhar jamaah diajak untuk mengucapkan niat puasa secara bersama-sama. Ya, inti puasa itu ada di niat kita. Puasa kita tidak sah jika kita tidak niat.

Kemudian jamaah dengan tertib membuat lingkaran untuk saling bersalaman satu sama lain. Tak lupa sembari melempar senyum ikhlas kepada jamaah lain.

Satu per satu jamaah pun ku salami. Dari yang usianya paling tua hingga anak-anak. Beberpa dari mereka ada yang mencium tanganku juga. Ini merupakan cerminan sikap baik yang diajarkan oleh orang tua kepada anaknya. Mencium tangan merupakan salah satu etika yang memang sejak zaman dahulu diajarkan oleh leluhur kita jika kita bersalaman dengan orang yang lebih tua dengan kita.

Hingga sampai pada barisan terakhir ku lihat ada seorang yang usianya kira-kira 25 tahunan. Dia tedak memakai sarung dan peci seperti jamaah yang lain. Wajahnya terlihat kusut. Kaos hitam dan celana pensil yang cukup ketat dengan percaya diri dia pakai untuk shalat ke masjid itu. Aku terkejut ketika melihat lengannya. Tato yang cukup banyak terukir di lengan orang itu. Dengan senyum dia menyalami satu per satu orang di masjid. Ku amati terus orang itu, dengan tatonya yang semakin terlihat jelas membuatku semakin terkejut dan tak mau berhenti memandangnya. Jamaah yang lain pun seperti itu.

Aku ingat wajahnya, kemarin aku melihatnya di dekat masjid. Dengan sepeda motor dan penampilan yang sama persis dia berhenti di salah satu rumah yang jaraknya sangat dekat dengan masjid. Kemarin ketika aku berboncengan dengan Mas Dalhar aku langsung berpikir dalam hati kalau orang itu adalah preman, karena melihat tampilan luarnya. Aku tak tahu siapa sebenarnya dia.

Namun dari apa yang ku lihat malam ini, dia yang ikut meramaikan shalat tarawih di masjid Al Barokah dengan pakaian apa adanya plus dengan tato yang menambah tampilan garangnya membuat aku berpikir ulang. Ternyata masih ada orang seperti dia, preman yang mau shalat. Entah siapa dia, apakah preman atau bukan aku tak tahu. Subhanallah, semoga apa yang dia lakukan membuat kita sadar bahwa apa yang diungkapkan dalam sebuah peribahasa itu memang benar. Don’t judge a book by its cover. Dan hal ini membuatku ingat akan apa yang diceritakan oleh Gus Mus dalam cerpennya, Gus Ja’far. Kisah tentang seorang Kyai alim yang di dahinya tertulis dengan jelas satu kata, yaitu “kafir”.

Semoga bermanfaat.

Ditulis pada 21/7 di Sekre PMII KentinganUNS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dilarang keras memberi komentar yang berbau SARA dan hal Porno.